Halaman Depan

Cinta yang Tak Berujung

Karya: Awan Sundiawan

Pagi-pagi hapeku berbunyi menandakan ada pesan singkat yang masuk. Setelah dilihat ada lima pesan singkat yang masuk. Aku coba buka satu-satu ternyata isinya bernada sama, yaitu menanyakan kapan pertemuan panitia karyawisata.


”Ah biarlah tidak akan saya jawab, nanti juga di kampus akan bertemu mereka”, aku berkata sendirin sambil membereskan buku-buku untuk perkuliahan hari ini. Ah baru pukul delapan masih ada waktu untuk bertemu mereka di kampus. Pukul sembilan aku berangkat menuju kampus.


”Hai Neti, kok smsku tidak dibalas?”, tanya Sinta kepadaku bernada agak marah.


”Maaf deh, kita kan bisa bertemu sekarang, kan?”, jawabku dengan singkat.


”Neti, teman-teman selalu menanyakan rencana karyawisata ke Pangandaran, kamu kan yang jadi ketua panitianya, kok diam saja.” Sinta mulai mengeluh kepadaku.


”Iya, iya, tenang saja, Sin, kita kan baru liburan semesteran, saya berencana tanggal 26 Januari, itu kan hari Sabtu.” Aku mencoba menerangkan rencana karayawisata ke Pangandaran.


Sinta kelihatan mengerti apa yang aku rencanakan, kami duduk berdua di bawah pohon yang rindang yang ada di taman kampus. Aku sempat berpikir apakah mereka pada mau tanggal 26 Januari, tanggal itu tinggal satu minggu lagi. Ah... bagaimana nanti saja.


”Hai, Neti, tumben pakaianmu sekarang agak cerah nih? Lagi gembira ya, eh... bagaimana dengan Aldi? Dia tuh kelihatannya naksir sama kamu.” Roni mulai menggodaku.


”Roni sini, nanti sore kumpulkan teman-teman untuk merencanakan karyawisata”, aku mengalihkan pembicaraan.


”Siap, komandan, soal itu gampang diatur, tapi bagaimana degan Aldi? Dia diajak atau tidak?”


”Terserah kamu saja deh, itu kan teman kamu”, jawabku.


”Neti, kau perempuan yang berbeda dari yang lain, kau berpenampilan enerjik, lincah, ya... kadang agak tomboy deh. Kalau Aldi tidak kau ijinkan untuk diajak kumpul, ya akun tidak akan memberi tahunya.” Roni menggodaku lagi.


Soal penampilanku memang aku berbeda sejak lulus SMA, sekarang aku suka memai celana levis, tapi tidak ketat, pakainku normal-normal saja dan tetap sopan. Mengenai hubunganku dengan Aldi sudah berjalan hampir dua bulan. Dia pada liburan Idul Fitri datang ke rumahku untuk sekedar silaturahmi. Waktu itu dia disambut juga oleh kedua orang tuaku, bahkan adikku yang perempuan. Memang waktu itu dia sempat mengungkapan isi hatinya, bahwa dia tertarik padaku. Aku sikapi dengan biasa-biasa saja. Karena dia hanya tertarik padaku saja, belum tentu dia mencintaiku. Ah mengapa pikiranku membahas dia, padahal nanti sore aku pikirkan masalah karyawisata.


“Nah... ketahuan ini kamu lagi melamun ya, melamun siapa sih?” Nurul mencoba mendekatiku.


“Eh... Nur, gini nanti sore kita kumpul ya” aku membalas sapaan Nurul, ”Aku tidak melamun kok, aku lagi memikirkan rencana kita”


“Halah... ngaku deh, tuh Aldi mau ikutan asal jangan akhir Januari, Dia sih maunya tanggal 6 Februari, katanya tanggal itu tanggal yang bagus.” Nurul menjelaskan keinginan Aldi.


Halah, aku tidak percaya angka atau tanggal yang bagus. Ah biarkan saja tentang Aldi. Aku sedikit tahu tentang Aldi, dia suka dengan angka-angka dan dia suka mengoleksi angka untuk nomor-nomor tertentu, bahkan momen-momen dia pasti berkaitan dengan angka cantik.


Setelah rapat persiapan karyawisata selesai, aku sempat berpikir menganai tanggal 26 Januari, setelah dicek ulang ternyata belum ada persiapan yang matang, peserta yang mau ikut juga belum banyak yang mendaftarkan diri, tentunya akomodasi belum bisa dipersiapkan. Ah ada benernya juga pendapat Aldi.


Akhirnya kami tidak bia berangkat tanggal 26 Januari dan memutuskan untuk berkumpul kembali. Tanggal 3 Januari kamu berkumpul kembali untuk mengecek persaiapan. Ternyata sampai tanggal 3 Januari persiapan belum matang juga, masih ada kekurangan dana untuk akomodasi dan trafortasi.


“Pagi Neti, saya Aldo mau menanyakan karyawisata, kapan saya bisa mengambil tiket tempat duduk?”, Aldi meleponku. Hati ini tiba-tiba berdebar-debar mendengar suara Aldi. Ah hati ini merasakan suatu getaran dari Aldi.


“Oh, Aldi, untuk tiket tempat duduk hubungi Nurul atau Roni” jawabku


“Jadinya tanggal 6 Februari ya? Trus bagaimana dengan persiapan sudah matang?” Aldi bertanya kembali.


“Ya gitu deh, sepertinya belum deh, coba hubungi Sinta bagian seksi akomodasi dan transportasi”, jawabku


Ah dia hanya bertanya, harusnya dia juga peduli pada acara ini, ya bantu panitia dalam mencari pemecahan masalahya. Sekarang sedang butuh kekurangan biaya. Dari mana ya?


“Neti, tiket tempat duduk sudah terbagi semua, nih nomor kamu” Nurul memberikan nomor tempat dudukku yang bertuliskan nomor 3.


“Nurul, trims ya, eh.. kalau nomor 3 posisinya di mana?” tanyaku.


“Di belakang sopir berdampingan dengan nomor 4”, jawab nurul.


Aku tidak peduli dengan nomor 4 yang penting acara anti bisa lancar.


Tepat pukul 20.00 kami berkumpul di tempat parkir, dan bus juga sudah ada, kami hanya menggunakan satu bus, karena pesertanya hanya satu kelas.


”Neti, berangkat pukul berapa nih?”, tanya Roni.


”Sebentar lagi” jawabku.


”Ada yang ditunggu ya?”


”Ya, dua orang lagi, kursi nomor 4 dan nomor 25”, jawabku.


Saya coba cek yang sudah duduk, setelah dicek dengan seksama ternyata Aldi dan Dewi belum datang. Berarti nomor 4 dan 25 itu antara Aldi dan Dewi, ah tidak aku pikirkan siapa nomor 4 itu.


”Neti, tuh Dewi baru datang”, tunjuk Nurul.


”Dew, nomor berapa?” tanyaku.


”Nomor 25, Net.”


Berarti nomor 4 Aldi, ah hatiku jadi berdebar-bedar begini, kenapa bisa dia nomor 4 dan saya nomor 3? Apakah ini kebetulan? Atau mereka yang ngatur? Kalau Mereka yang ngatur bagaimana Aldi dapat mengambil nomor 4, kan diundi kecuali saya, saya dapat nomor sisa. Tapi bahagia juga dapat berdampingan dengan Aldi, orangnya baik, ramah dan sopan. Apakah hal ini tidakm akan membuat Aldi ge-er? Atau aku yang aka ge-er? Bagaimana dengan mereka? Ah mengapa hati ini semakin berdebar-debar.


Beberapa saat kemudian Aldi datang.


”Neti, maaf ya, saya terlambat saya nomor 4, di mana ya?”


“Oh, gak apa-apa, tuh di belakang sopir”, jawabku.


Setelah kami duduk berdua teman-teman tiba-tiba diam, seolah-olah mau melihat dan mendengarkan apa yang kami lakukan. Ah mengapa bisa jadi begini?


Pukul 22.00 kami berangkat ke Pangandaran, karena jalanan ke Pangandara berkelok-kelok dan udara terasa dingin, waktu tempuh juga lama, kira-kira pukul 03.00 kami baru nyampai, akhirnya rasa ngantukku mulai datang.


Hah? Aku kaget, ternyata aku ketiduran bahkan tertidur dan bersandar ke pundak Aldi, dan di depan tubuhku ada jaketya dia. Duh.. kalau mereka tahu bisa gawat nih. Aldi kelihatan masih tertidur, aku mencoba melihat jam, ah masih pukul 02.00 dan kulihat ke luar, tenyata masih daerah Banjarsari, satu jam lagi sampe. Kulihat mereka masih tertidur lelap. Karena udara masih terasa dingin aku masih mengenakan jaket Aldi. Ah kupakai saja biar hangat.


“Eh Neti sudah bangun”, sapa Aldi.


“Iya Di, jaketmu hangat nih”, sahutku


”Pakai saja, gak apa-apa kok, tadi malam kau tertidur pulas, kecapean ya?” tanya Aldi sambil tersenyum.


”Iya mungkin” jawabku singkat, aku tidak tahan dengan senyuman Aldi yang menawan. Ah bahagia juga dapat senyuman Aldi.


Pukul 03.00 kami baru nyampe di Pananjung Pangandaran, dan kami langsung menyewa penginapan untuk beristirahat.


Kegiatan kami mulai dari pagi sampe siang di daerah cagar alam untuk meneliti hutan lindung dan hewan langka yang ada di sana. Asyik juga kami berada di cagar alam, ya menghirup udara segar. Kami juga masuk ke berbagai gua yang ada di sana, dan terakhir kami cuci muka di sumur Cirengganis, yang katanya ada hasiatnya bagi kesehatan. Setelah dari cagar alam kami menikmati suasa renang di patai Barat dan makan udang juga ikap kakap merah di pantai timur. Teman-teman lain sibuk membeli oleh-oleh. Aku ah, males untuk membeli kaya gituan, gak sempet aku kan ketua panitia. Aldi tidak kelihatan, entah ke mana dia? Eh.. aku mulai merasaka kehilanga Dia. Sepertinya dia tidak tahu pusingnya panitia menyelesaikan kekuarangan dana acara ini. Dia hanya ikut saja, enak bener jadi Dia, sudah duduk bersamaku.


”Net, nih udang dan kakap merah coba deh, ini enak kamu kan belum makan, dan keliatan cape ya”, tiba-tiba Aldi membawa makanan yang cukup untuk kami berdua.


”Ayo Net, makan, jagan ragu, aku siapkan khusus untukmu, maaf ya tidak mengajak kamu”, Aldi memaksaku untuk mau menerima tawarannya.


Akhirnya aku makan berdua bersamanya sambil menikmati hembusan angin dan gulungan ombak. Dia tahu kalau aku tidak suka diajak oleh Aldi, karena sudah beberapa kali dia mengajaku selalu ku tolak, padahal dalam hatiku tidak menolak tapi mencoba usahanya, apakah dia sungguh-sungguh atau tidak. Tapi hari ini dia memberi kejutan. Ternyata Aldi baik juga, mau membelikan aku makanan, ah nimat sekali makan dengan udang asam manis dan bakar kakap merah.


”Roni, kita langsung pulang ya pukul 13.00”, aku menyapa Roni yang kebetulan lewat.


”Siap komandan, tapi Net, kita kan mau ke Batu Hiu?”, tanya Roni.


”Dalam agenda kita, tidak ada acara ke Batu Hiu, Ron, trus biayanya bagaimana?” tanyaku.


”Tenang saja, yang penting bisa diatur dan beres, dan kita bisa ke Batu Hiu”, jelas Roni.


Akhirnya aku mengalah pada konsep Roni, tapi dari mana dapat biaya tambahan itu, padahal dalam acara sebulumnya tidak ada acara ke Batu Hiu. Ah aku ikut mereka deh.


Pukul 14.30 kami sampai di Batu Hiu. Di sini mereka berpencar mencari tempat masing-masing, ada yang berkelopok bahkan ada yang berpasangan. Ah aku ditinggalkan mereka, sepertinya aku aku sendiri. Aku duduk di bangku yang berbuat dari tembok, aku menikmati hebusan angin dan melihat laut lepas ke samudra Hindia.


Aku tidak melihat Aldi, ke mana Dia? Ah hatiku merasa kehilangan Dia, ah suasana hatiku kacau, mengapa Aldi jadi masuk dalam pikiranku? Apakah aku sedang jatuh cinta? Aku baru pertama merasaka getaran hati seperti ini.


”Net, nih dompet dan hapemu ketinggalan tadi di jok” tiba-tiba Aldi datang dengan memberikan dompet dan hapeku.


”Makasih Di” jawabku singkat.


”Neti, kita duduk di rerumputan sana sambil berteduh”, Aldi mengajakku untuk pinda tempat. Aku mengikutinya dari belakang.


”Net, boleh saya bicara?” tanya Aldi.


”Boleh” jawabku.


”Net, coba rasakan hembusan angin laut, coba rasakan indahnya pemandangan di sini, kita berada dipuncak bukit Batu Hiu, kita bisa melihat laut lepas, kita bisa melihat ombak yang menerjang batu karang yang tiada henti. Semua itu seperti perasaanku padamu. Sejak saya melihatmu aku tertarik padamu. Aku mengagumimu, bahkan aku ingin hidup bersamamu. Net, maaf jika pembicaraan ini mengganggu pikiranmu.” Aldi mengungkapkan perasaanya.


”Aldi, untuk sementara sekarang ini aku masih ingin sendiri”, jawabku agak grogi. Sebetulnya sih aku menerima perasaanmu itu, tapi aku jaga imej. Aku tidak akan buru-buru menerimanya, tapi hatiku mulai kehilanganmu, aku pun tertarik padamu.


”Net, tidak apa-apa jika hal itu keputusanmu, aku mengerti keadaanmu.” Aldi menatapku dengan tajam sambil memberi senyuma yang menawan.


Aldi, aku tidak tahan dengan tatapan matamu itu, tapi aku suka kau perhatikan, maaf aku ya.


”Net, kenapa telapak tanganmu kok begitu?”, tanya Aldi.


”Mana ah gak apa kok”, jawabku.


”Sini telapak tanganmu akan kubersihkan”


Aldi mencoba membersihkan telapak tanganku.


”Net, telapak tanganmu halus, mulus dan bersih”


”Ah kamu ada-ada saja”, jawabku


Aldi bilang dong mau menganggam tanganku, aku juga rela kau genggam haya aku saya yang jaga imej, soalnya meraka pada melihat kita.


Setalah kami puas menikmati Batu Hiu kami akhirnya pulang. Sepanjang jalan aku berpikir, dari mana panitia dapat biaya tamban ini?


”Net, kamu tidak tahu ya, kami dapat uang tambahan dari mana?”, Nurul menyapaku.


”Gak tahu, memang dari mana”, tanyaku.


”Semua kekurangan ini dan biaya tambahan ke Batu Hiu itu dari Aldi, dia yang membereskannya, dan tempat duduk kalianpun kami atur, sengaja nomor 3 dan 4 tidak dimasukkan dalam undian, biar buat kalian saja, agar tidak ketahuan olah Aldi, kami meninggalkan 2 nomor itu biar dipilih Aldi.” Papar Nurul.


”Hah? Aldi yang membereskan semua kekurangan itu? Ah kalian benar-benar licik!” Sahutku.


Hatiku berkata dan bangga, ternyata aku bisa duduk berdua bersama Aldi, dan Aldi yang selama ini pendiam dan pernah aku benci membantu kita.


”Net, maaf ya, Aldi memutuskan tanggal 6 berangkat itu, karena tanggal 7nya dia ulang tahun, dan dia akan menyataka rasa cintanya pada gadis yang dicintainya pada tanggal itu. Kau kan gadis pilihannya?”, papat Nurul.


”Net, maaf ya yang kedua kali, Aldi sekarang sudah pindah tempat tinggal dia sekarang pindah ke Yogyakarta, dan dia minta maaf tidak memberi tahumu, nih ada kiriman dari Aldi berupa flasdish, buka saja, di sana ada tulisan Dia.” papar Nurul.


Aku termenung, ternyata Aldi yang telah menyukseskan acara ini sekarang pergi jauh. Ah aku semakin kehilangan dia, mungkin ini karena akupun mencintai Aldi. Aldi mengapa kau tidak terus mengejarku, coba kalau kau mengejarku terus, pasti akan kuterima. Dan mengapa aku selalu jaga imej, mengapa hatiku tidak terus terang padanya bahwa akupun mencintainya. Aldi maaf aku ya, ternyata kau mencintaku dengan perbuatan, dan perbuata itu tidak terlihat olehku. Pasti kau kecewa, kecewa karena cintamu ku tolak. Aldi maafkan aku ya, dan terima kasih atas segala kebaikanmu.


Air mataku mulai meleleh dipipiku, sebetulnya aku termasuk orang yag jarang meneteskan air mata. Hatiku mulai luluh olehmu, padahal har-hari sebelumnya hatiku keras. Ragaku lemas oleh sikapmu, padahal hari-hari kemarin ragaku gagah.


Aldi mengapa kau tidak mengatakan akan pindah, mengapa kau tidak mengatakan ulang tahunmu, kau tidak mengatakan bahwa kau telah membantuku, mengapa juga mereka pada diam. Ah... ini karena salahku sendiri yang suka egois, tidak mau menerima pendapat orang lain, mau menang sendiri, dan terlalu berpegang pada prinsip. Aldi aku menyesali perbuatanku padamu.


Labels:


Karya Penulis

Karya Sebelumnya


Saling Sapa



Sponsor


  • FM Radio Blog